it’s about all word’s

Perempuan Gerakan Aceh yang Merdeka

Posted on: December 1, 2008

Sudah tiga tahun perjanjian damai pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diteken di Helsinki, Finlandia. Hasilnya cukup signifikan bagi sebagian orang. Sebagian lagi masih tanda tanya. 

Setidaknya dalam kunjungan saya beberapa waktu lalu ke daerah Lhok Seumawe, Aceh Utara yang kaya gas dan daerah secara geografis termasuk beruntung tak terlalu direpotkan terjangan gelombang tsunami 2004.

Jika dikatakan aman, betul juga. Jika belum aman, boleh juga dijawab anggukan. Sebab apalah kata aman jika dalam perjalanan di setiap titik persimpangan berjaga dua hingga tiga orang bersenjata lengkap.

Dengan seragam loreng, bertopi baja, rompi anti peluru dan senapan serbu (SS) buatan Pindad para prajurit itu waspada terhadap kemungkinan serangan dadakan pada rombongan Exxon Mobil Oil Indonesia (EMOI) dan sejumlah wartawan menuju daerah Langkahan.

Tentara, debu mengepul bagai tirai di terik matahari, permukiman warga, persawahan dan desa transmigran terbengkalai, kebun kelapa sawit dan perbukitan gundul menjadi pemandangan satu-satunya sepanjang perjalanan tersebut.

“Ini dulu daerah GAM. Mereka rata-rata lulusan Libya. Salah satu pentolannya Ahmad Kandang. Tentara kalau tak bermental baja bisa menangis kalau ditugaskan di sini,” ujar salah satu rekan wartawan yang lama bermukim di Lhok Seumawe.

Untung sepanjang perjalanan tak ada insiden bersenjata. Rombongan kami sampai dengan selamat ke lokasi kerja sosial karyawan EMOI. Di tempat itu berdiri SD 07 Langkahan.

Bangunan itu sumabangan ExxonMobil karena gedung sekolah lama terlalu sering direndam banjir dari sungai Krung Ni. Menurut penduduk sejak berdiri Bendungan Langkahan desa mereka selalu banjir tiap musim hujan.

“Tiap musim banjir, luapan sungai bisa mencapai 10 meter dan baru surut dua bulan,” ujar Aliman. Ketiga anak Aliman: Marhalim, Marlina dan Mulyadi, sekolah di SD 07 Langkahan itu.

Aliman nampak antusias bercerita perihal sekolah baru itu. Dia gembira karena bos EMOI Aceh, Barton P Cahir bisa ikut datang. Berpeluh keringat, menanam bibit dan mencangkul bukit di sekitar sekolah berbiaya Rp2 miliar bagi 400 siswa itu.

Namun suami dari Siti Sumanti itu nampak gugup ketika saya tanya perihal kondisi keamanan di wilayahnya. Bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan. Suaranya merendah.

Kombatan frustasi

September lalu, tujuh orang tak dikenal menculik, memeras, kemudian merampok uang Andrian Morrer, staf Bank Dunia (World Bank) yang sedang melakukan survei ditemani sopirnya, Hendri Saputra, di Punteuet, Kecamatan Sawang, Aceh Utara.

“Kita belum tahu itu mantan GAM atau bagaimana. Jika betul mereka mantan kombatan. Ya ini kondisi yang terjadi di lapangan pasca perdamaian,” ujar Salma YS, salah satu pengurus Ikatan Pemuda Aceh (Ikapeda).

Salma YS bersedia menemui saya di tempat rombongan wartawan bermalam. Bersama Salma hadir Ketua Umum Ikapeda, Achmad Blang yang diburu tentara di operasi Jala Merah, DOM I dan II.

Perdamaian Helsinki memang bak sekeping uang logam. Perdamaian di satu sisi dan frustasi berkepanjangan bagi para kombatan yang mendadak jadi pengangguran. Jika dulu mereka bisa bangga menenteng-nenteng AK-47 kini mereka gagap mencangkul.

Jika diperbandingkan dengan kondisi Indonesia persis seperti ketika Hatta menyetujui ide Urip Sumohardjo melakukan kebijakan Re-Ra bagi ratusan laskar bersenjata pasca perjanjian Renville yang hasilnya menghasilkan tragedi Madiun Affair.

“Mereka ini biasa perang. Sekarang jadi pengangguran. Ada frustasi. Begitu juga keluarga mereka. Ini hal yang dilupakan pemerintah RI,” ujar perempuan jebolan STM Cot Gapu jurusan listrik itu.

Lewat Ikapeda yang didirikan setelah MoU RI-GAM dan resmi disahkan 6 April 2006, organisasi ini bergerak menjangkau generasi trauma perang berusia 15-35 tahun di pelosok Aceh Utara.

Kegiatan itu beragam a.l. pendidikan pertanian, beternak, kerajinan bordir, pembuatan tempe, perikanan bandeng. “Susahnya meski kegiatan kami dipercaya mitra asing. Perbankan dalam negeri justru tak memberi apresiasi!” ujar Salma gemas.

Menurut perempuan yang terpilih sebagai perempuan pesisir Indonesia itu, mestinya pemerintah Indonesia bisa membantu persoalan pendanaan yang mendesak dibutuhkan tersebut.

Namun apalah asa dan harapan, Ikapeda terus bergerak. Melalui gerakan perempuan Aceh, Salma menjalankan sistem dana bergulir bermodelkan Muhammad Yunus sang peraih Nobel Ekonomi.

“Sistemnya syariah dan melalui perempuan. Kalau lewat pria. Bisa habis uang Rp250 ribu-800 ribu tersebut,” ujar ibu empat anak hasil pernikahannya dengan Zulham yang berprofesi sebagai nelayan.

Seperti halnya Grameen Bank, dana bergulir tersebut bisa digunakan tanpa agunan, tanpa bunga dengan pengawasan kolektif. Artinya jika terjadi kredit macet, sang pelaku mesti menerima sangsi sosial dari lingkungannya.

Hasilnya perempuan Aceh dalam jejaring Ikapeda semakin mandiri dan menginspirasi sang suami untuk menggunakan tangan mereka mencari rejeki karena harkat kemerdekaan sejatinya adalah bebas dari ketergantungan pada orang lain.

Leave a comment

Categories

Archives

Pages

December 2008
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031