it’s about all word’s

Bali dan politik lokal

Posted on: May 2, 2007

Gaya kampanye dan iklan partai politik, secara tak langsung merupakan perang janji-janji dan menyalahkan atau mengenang orde pemerintahan sebelumnya.

Memberikan bayang-bayang ketakutan akan sosok Orde Baru, sosok komunis dan Orde Lama atau sibuk menghujat pemerintahan reformasi.

Sudah menjadi kenyataan di negara-negara yang telah lebih dulu melaksanakan sistem demokrasi, sistem ini akhirnya lebih banyak menghasilkan politikus populer daripada politikus cerdas/pintar.

Namun, pada masa kampanye kali ini, terlihat di Bali sudah berkembang cukup banyak massa yang sadar tentang tidak tepatnya menguras seluruh energi untuk kampanye.

Mereka sadar pada kenyataan bahwa kampanye bukan segala-galanya bagi terciptanya iklim demokrasi.

Memberikan suara secara langsung pada hari pemilihan jauh lebih bermakna bagi kepentingan bangsa daripada ribut-ribut di masa kampanye.

Namun, sekali lagi, dorongan menjadikan kampanye sebagai katarsis beban hidup masih cukup tampak di kalayak ramai.

Kampanye di Bali seharusnya Damai?

MENARIK mencermati kampanye Pemilu 2004 terutama di Bali yang ”hanya” merupakan sebuah pulau metropolis mungil yang padat penduduk ini. Suara 3,4 juta penduduknya diperebutkan oleh 20 partai politik dengan berbagai asas dasar kepartaiannya. Namun, sejarah selama delapan kali pemilu sejak 1955-1999 membuktikan pilihan terbesar masyarakat pulau ini masih kepada partai berasaskan nasionalisme.

————————–

Menarik pula, pola civil society di Bali masih kental dipengaruhi oleh budaya objektivitas kolektif dan patrimonial, terlihat dari masih eksisnya ikatan banjar dan puri. Beberapa kali pilihan politik penguasa puri atau mayoritas suara banjar diakui atau tidak, merupakan pilihan yang tidak bisa ditolak bagi para pengikutnya. Akibatnya sering terjadi perkelahian antarbanjar hingga bentrok antarpendukung partai politik di Bali.

Bukan suatu kebetulan jika karakter masyarakat Bali mirip dengan masyarakat Jawa Tengah, salah satunya “sungkan untuk berkonfrontasi”, entah karena masih adanya pilihan untuk memecahkan masalah dengan cara sangkep (rapat) atau adanya konsep karmapala. Namun, hal tersebut juga seringkali harus dibantah akibat seringnya peristiwa tawuran antarbanjar terjadi.

Sudah menjadi rahasia umum kenyataan yang ada di sebagian masyarakat bahwa momentum kampanye dimanfaatkan sebagai penyaluran katarsis beban hidup sekaligus ajang hura-hura gratis menjadikan masa kampanye adalah masa-masa mengkhawatirkan bagi sebagian masyarakat di Bali. Kali ini pun partai politik masih juga menggunakan metode philosophy of hope, filosofi di mana memberi harapan untuk perbaikan nasib.

Gaya kampanye dan iklan partai politik, secara tak langsung merupakan perang janji-janji dan menyalahkan atau mengenang orde pemerintahan sebelumnya. Memberikan bayang-bayang ketakutan akan sosok Orde Baru, sosok komunis dan Orde Lama atau sibuk menghujat pemerintahan reformasi. Sudah menjadi kenyataan di negara-negara yang telah lebih dulu melaksanakan sistem demokrasi, sistem ini akhirnya lebih banyak menghasilkan politikus populer daripada politikus cerdas/pintar. Ronald Reagan dan Arnold Schwarzenegger dari Amerika Serikat adalah contoh yang mudah diingat. Berbeda dengan kondisi sistem meritrokrasi yang akan menempatkan orang-orang dengan kemampuan dan kepandaian pada suatu jabatan tertentu yang sesuai dengan skill-nya. Contohnya sistem pada lembaga-lembaga TNI/Polri dan pendidikan tinggi yang mengharuskan pemimpin-pemimpinnya sebelum menduduki jabatan tersebut, memenuhi standar pendidikan tertentu, guru besar misalnya.

Entah mengapa para politisi yang bermain, menyadari atau tidak, betapa adem ayemnya minggu-minggu awal kampanye dialogis kali ini. Tampaknya rakyat kebanyakan belum siap dengan pesta demokrasi modern yang sebenarnya mengedepankan kampanye dialogis, yang diharapkan menjadi sebuah sekolah politik. Malah pada praktiknya sepi dari penonton. Bahkan, mahasiswa Unud yang merupakan barometer pergerakan mahasiswa di Bali yang begitu meriah menggelorakan kampanye dialogis pada akhirnya tidak begitu berpartisipasi. Tak ayal kampanye dialogis di beberapa PTS di Denpasar akhirnya hanya dihadiri oleh segelintir mahasiswa atau malah tidak sama sekali. Entah kurang niat atau kurang bernyali menghadapi para politisi, yang ternyata juga enggan berkampanye di kampus.

Dari Populis ke Elitis

Pada Pemilu 1999, rata-rata di awal kampanye semua partai berubah menjadi populis demi merangkul simpati publik. Begitu pemilu berlalu, partai menjadi elitis, lupa akan janji-janji dan pelit memberikan kesempatan mendengar keluhan rakyat pendukungnya. Semboyan ”rakyat hanyalah gincu bagi ambisi politik” benar-benar terwujud kembali. Alhasil rasa percaya rakyat lenyap pada kampanye 2004 ini, janji-janji politisi malah terdengar begitu basi.

Rasa apriori ini makin menjadi-jadi saat terulangnya kondisi gebyar kampanye tahun-tahun sebelumnya. Kampanye yang lengkap dengan grang-greng gas dan knalpot motor, pendukung partai yang berwajah sangar, menakutkan dan mengancam bukan saja terhadap partai lain tetapi kepada sesama partai sendiri, ternyata berulang lagi. Kasus pengeroyokan dan bentrok antara Partai Golkar dan PDI-P yang terjadi beberapa waktu lalu seakan menegaskan suasana pesta rakyat yang lagi-lagi dikondisikan oleh partai-partai besar tersebut untuk terus terulang. Hal itu semata-mata karena pada umumnya calon-calon legislatif dan massa pendukung partai kurang memiliki skill menghadapi kampanye dialogis.

Ditambah, kondisi mental bangsa Indonesia yang sebagian masih hidup di bawah garis kemiskinan dan pendidikan layak, didukung kultur politik di Indonesia yang masih berproses menuju budaya rasionalitas dibalut ikatan tradisi, emosi, agama dan pola pengikutnya rata-rata mengkultuskan sosok individu seseorang, akhirnya melahirkan letupan-letupan ekspresi fanastisme yang mengkondisikan partai berada di atas hidup-mati seseorang. Pada kenyataannya sejarah kampanye Indonesia memang tak pernah bisa lepas dari teror-teror politik semacam ini.

Meski begitu, pada masa kampanye kali ini, terlihat di Bali sudah berkembang cukup banyak massa yang sadar tentang tidak tepatnya menguras seluruh energi untuk kampanye. Mereka sadar pada kenyataan bahwa kampanye bukan segala-galanya bagi terciptanya iklim demokrasi. Memberikan suara secara langsung pada hari pemilihan jauh lebih bermakna bagi kepentingan bangsa daripada ribut-ribut di masa kampanye. Namun, sekali lagi, dorongan menjadikan kampanye sebagai katarsis beban hidup masih cukup tampak di kalayak ramai.

Maka, semua kini tergantung kepada ketulusan dan niat dari para elite politik ke-23 peserta pemilu di Bali. Apakah akan terus memancing emosi massa dan memperburuk citra aman Bali atau lebih memilih memancing simpati dan mencerdaskan masyarakat Bali. Semuanya kita serahkan kepada mereka.

*Dimuat Balipost 24 Maret 2004

Leave a comment

Categories

Archives

Pages

May 2007
M T W T F S S
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031