it’s about all word’s

Andrea Hirata: on interview

Posted on: November 29, 2007

Akhir pekan lalu (25/11), saya bersama Diena Lestari beruntung diberi waktu oleh Andrea Hirata untuk membajaknya ke Cafe Au Lait setelah jumpa fans di toko buku Gramedia Cikini. Hampir dua jam kami memborbardir pria keriting itu dengan pertanyaan tak bermutu. Berikut kutipan wawancara tersebut:
Tapi belum juga diwawancarai Andrea langsung nyletuk:

Kita itu kampung tapi dapet bocoran radio Malaysia. Jadi kami itu tinggal di kampung tapi orang tua kami mendapatkan siaran radio BBC. Jadi dari sana abis sholat subuh itu ayah saya menyediakan waktu untuk duduk mendengarkan musik jazz. Mangkanya saya itu sudah tau lama dengan yang namanya Nat King Cole.

Masih masa masanya Duke Ellington?

Ya masa masanya DE itu aku tau banget itu atau gitaris Kenny Burrell. Setelah saya jalan jalan sekarang saya jadi tau. Oh itu yg pernah saya dengar ni. Begitu sejarahnya. Jadi satu tune yang akrab waktu kecil meski saya di desa. Karena kondisi geografis di sana itu membuat kami mudah mendapatkan siaran siaran dari luar begitu. Ya dari malaysia dan singapura gitu.

Kalo aliran mas sekarang fusion, acid jazz gitu kan?

Dulu pertama saya fanatik dengan aliran saya pernah ke mainstream era Miles Davis terus ke fusion. Ada lagi bermacam new age yang pernah dicoba di Indonesia. Tapi sekarang, belakangan saya mulai skeptis dengan aliran aliran. Karena seperti buku juga ternyata mereka sudah berbaur. Saya punya selera sendiri yakni genre yang saya sebut jazz yang menghibur saja.

Seperti Michael Bubble gitu?

Nah begitu ya, itu masuk easy listening ya. Tapi saya suka musik jazz dengan pilihan musik yang luas contohnya Satoru Sihonoya tampil pertama di Jakjazz.

Mereka bermusik mulai dari fusion, sampai ke brasilian jazz, sampai yang tidak ada identitasnya. Mereka mengubah dari jazz muda Jepang yang biasa kita dengar yang terlalu elektrik menjadi terlalu akustik.

Mereka pakai grand piano, vibraphone dan standing bass. Ini mengubah grup muda jepang, yang identik dengan elektrik sejak era Casiopea, yang sangat teknologi, sangat symplizaizer. Jadi mereka main dari mainstream sampe brazilian jazz. Identitas mereka bebas dan menghibur.

Jadi mereka sudah tidak perlu dengan pagar pagar itu ya?

Ya saya suka itu, jadi sekarang orang yang menekuni bener bener di mainstream, seperti buku ya, orang orang yang sangat tekstual dengan sastra itu akan ditinggalkan pembaca ya.

Orang lebih suka buku yang menggunakan konteks yang kuat mungkin seperti laskar pelangi acceptance nya luas karena dia secara konteksnya sangat kuat.

Ini mengangkat isu pendidikan, human right, pendidikan kesetaraan, pendidikan dan manajemen korporasi memperlakukan tanah ulayat kepada native di situ. Jadi itu lebih ke kontekstual kuat.

PT Timah itu kan punya comdev yang diperuntukkan untuk masyarakat sekitar. Tapi di buku anda kesannya mereka tidak melakukan itu?

Dulu PT Timah kolaps [tahun] 91, jadi apa yang dikembalikan ke masyarakat itu dalam bentuk reklamasi penanaman kembali bumi yang luluh lantak itu. Tapi bagaimana dengan kesetaraan pendidikan adalah ketika seorang anak baru dapat sekolah jika anaknya seorang semi staff. Itu pelanggaran berat hak asasi. Comdev waktu itu ya gak ada.

Dalam beberapa hal, mas bilang kalau menulis itu jangan dipagerin. Kita feelfree aja ketika nulis gak usah ada batas batas, itu yang mas lakukan juga?

Jadi saya sama sekali tidak menganut paradigma lama tentang plot, karakterisasi, posidisi karena saya melihat buku buku hebat seperti ‘The lover” karya Marguerite Buras itu nyaris tidak ada dialog. Kemudian ‘Einstain Deams’ tidak ada plot, tidak ada penokohan. Kemudian dengan ‘Imaginari Cities’ Italo Calvino.

Saya rasa ketika saya menulis saya lepaskan, saya lebih spontan, apa yang saya tulis, seperti I write what I think, I write what I feel gitu. Jadi saya terus memfokuskan pada possibilites ketika menulis. Jadi saya rasa seorang penulis dapat menulis yang berbobot itu sangat terukur langsung dari posibilites dari apa yang ditulis.

Possibillities itu maksudnya ketika orang baca, pembaca melihat kemungkinan paragraf itu melihat adanya kemungkinan yang luas dari tulisan itu. Pembaca bisa berimajinasi luas dari paragraf itu. Saya rasa penulis yang sukses itu kalau seperti itu.

Kalau saya buat penokohan protagaonis dan antagonis, terus si a jahat, dan pembaca menilai bahwa si a jahat, maka itu adalah tulisan yang jahat menurut saya. Karena pembaca harus punya ruang dalam dirinya pertama, identitas penulis, kedua, persepsi penulis.

Ketika mungkin akan menanyakan konsep penulis terhadap protagonis dan antagonis itu. Jadi sepanjang membaca itu maka pembaca berdialog dengan penulis itu. Itulah tulisan yang berhasil menurut saya.

Bahkan Laskar Pelangi dikatakan menceritakan kesedihan dalam bentuk parodi. Menceritakan dan dia cerita yang mengisahkan sebuah kebijakan tanpa menggurui.

Karena saya dari awal suka membuat tulisan mengajak pembaca berdialog dan mempertanyakan sendiri keyakinan dia dan integritas dia.

Dan itu membuat pembaca masuk pada karaketer dalam buku itu. Dan ketika saya mempelajari reaksi pembaca dan saya analisis begitu dalam tulisan saya, mereka umumnya menjadi pribadi menyesal tidak berbuat seusatu yang berarti dalam hidupnya. Jadi saya menembak pusat kesadaran dia.

Tulisan yang baik itu seperti itu, tulisan yang baik bukan hanya bagaimana alurnya begitu enak itu adalah aspek-aspek sentimental dari pembaca. Itu indojond, seperti kita melihat film.

Banyak sekali pembaca menganggap karya sastra sebagai media entertaimen. They don’t really care, mereka ingin membaca apa yang mereka ingin baca dan mereka percaya apa yang ingin mereka percayai

Beberapa orang bilang, aku tidak selesai baca LP, terlalu rumit dibanding yang kedua dan ketiga. Ketika aku tanya detail. Kenapa, soalnya bahasanya tidak logis anak baru SDtapi penulis memaksakan apa yang baru mereka dapat dari luar ke logika anak kecil?

Jadi saya itu dikritik serupa oleh profesor Jacob Soemarjo guru besar ilmu budaya ITB tentang logika. Setengah halaman di Kompas. Itu memang makalah yang dibawakan satu minggu sebelumnya di STSI di Bandung pada satu seminar.

Jadi begini, banyak sekali pembaca yang memiliki persepsi semacam itu, problemnya adalah tingkat apresiasi kita. Membaca itu membutuhkan skill. Untuk memahami penulis ketika menulis dia memperhitungkan psikologi pembaca, dan pembaca ketika membaca memperhitungkan psikologi penulis.

Sekarang kita harus tahu LP ditulis oleh Andrea sekarang yang sudah bisa mengambil jarak dari kejadian itu, dan mampu menganilisisnya dan mengimpertasikannya….. itu sekarang.

Tapi dalam LP saya itu menempatkan diri secara alternet, kadang-kadang saya jadi anak kecil di situ dan kadang-kadang saya menempatkan diri sebagai sekarang. Saya menganalisis dan saya menggambarkan kondisi gedung, tidak mungkin anak kecil melakukan itu.

Kadang saya menjadi absurd, kembali ke kelas itu, ketika tidak rajin sholat maka pandai-pandailah berenang. Karena jaman nabi Nuh maka dikasih banjir. Kalo pandai berenang maka akan selamat. Nah jadi ini masalah approach. Pendekatan penceritaan.

Dalam penokohan penulisnya masuk dalam dunia anak kecil dan dia tidak beranjak dari sana. Hanya berputar-putar. Kalau saya kadang saya ke sana, kadang saya kesini. Itu yang pertama.

Terus kedua, ketika orang baca sastra, saya kira kenapa sastra harus logis, kenapa kalau begitu ‘to kill a mooking bird’ dapat hadiah sastra padahal bagaimana review hukum dilakukan anak usia 8 tahun. Kalau cara berpikir begitu. Gak logis kan. Sedangkan leo the …. Bagaimana iskandaria digambarkan anak usia 12 tahun.

Tapi inilah sastra begitu. Jadi sastra dan logika

Jadi itu banyak sekali dipertanyakan. Di satu milis pro dan kontra tentang logika laskar pelangi. Jadi kadang-kadang saya juga heran dengan pembaca, bagaimana dia bisa melarikan itu kepada logika semacam itu. Bukan karena saya tidak terbuka dengan kritik semacam itu.

Saya curiga kita masuk pada area yang dinamakan selera dan berdasarkan pesan dari mbah maridjan, selera itu tidak bisa diperdebatkan. Kan, kalau orang mengatakan dalam sang pemimpi, edensor, lebih mudah dibaca dan nilai sastranya kurang, sekarang edensor mendapatkan nominasi katulistiwa award. KLA.

Dalam sembilan karya terbaik tahun itu, so what explanations jadi? Kita benar-benar dalam apresiasi sastra harus bisa bedakan antara apresiasi dan selera. Saya curiga dalam diskusi di kampus, di mall, tapi yang saya pelajari pelan-pelan kadang-kadang itu tercampur baur.

Hanya sedikit orang yang bisa memandang jernih misalnya pak Sapadi Djoko Darmono saya anggap guru. Saya belajar pelan-pelan, saya liat sastra itu bagaimana. There is no single right answer untuk sebuah buku yang baik, saya rasa.

Hanya satu yang berlaku umum, itu possibilites tadi, ketika mbak baca pada satu paragraf bisa melarikan pada science, bisa larikan pada keyakinan beragama. Sebuah paragraf yang menantang interlektualitas pembaca itu selalu jadi satu tulisan yang baik.

Mungkin pada jamannya DEE itu ya?

Bisa jadi, saya kira tidak sesederhana seperti yang kita lihat. Andrea, bukumu menjadi menarik karena menceritakan kisah orang susah sukses. Coba saja tulis. Banyak bahkan lebih parah nasibnya dari LP, seorang ibu diselingkuhi suami tidak bisa makan segala macam tulis saja segala macem. Kemudian sukses, Apa menarik. Jadi belum tentu, tidak sesederhana itu, LP aceptenace luas karena ceritakan sebagian masalah orang Indonesia.

Banyak buku yang ceritakan masalah orang Indonesia,……. there is something about the book and I don’t understand that. Jadi ada sesuatu dengan buku itu. Tapi sebaliknya kalau kita pragmatis, tidak ada penerbit yang gulung tikar ya.

Makanya ada misteri di sana yang kita tidak bisa jelaskan. Andrea buku kamu disukai karena metafora. Apa iya anak-anak yang berkerudung kecil-kecil itu ngantri minta tandatangan itu melihat metafora itu?

Ada juga yang bilang bahwa momentnya pas keluar, karena pembaca sudah jenuh dengan chicleet, teenleet? Pengaruh media, ketika Kick Andy terangkat. 2006, aku lihat LP, tapi aku gak tertarik lebih ke edensor.

Bisa jadi, orang jenuh. Tapi selalu benar karena akmal sari basa masuk juga –imperia-. Kan maksudnya moment pasar gitu. Kemudian Hermawan Aksan masuk. Yang paling masuk akal adalah possibelities tadi, momet memang ada tapi tidak dominan.

Karena sebetulnya era masuknya itu mbak DEE, bukan aku. Di indonesia, film bagus masuk itu kan Riri lewat Sherina. Dan bagaimana orang berbalik dari tulisan bertema cheklieet dan teenleet, yang memulai mbak DEE bukan aku. Jadi bagaimana donk dengan teori itu. Atau mungkin itu second curve dari mbak DEE.

Karena kalau mbak berteori begitu buku yang tingkat sastranya tinggi tidak masuk. Akmal Nasir Basar menghasilkan dua buku, Naga Bonar jadi dua, dan Imperia. Dan dia kurang promo gimana, mbak Wulan Guritno ikut kemana-mana. itu karena dia attach ke promo film tapi gak kemana-mana.

Kadang-kadang saya percaya pada sesuatu yang sifatnya supranatural, karena mungkin saya orang Islam. Karena katanya orang yang teraniaya itu akan terangkat lagi. Karena ibu muslimah itu teraniaya belasan tahun. Sekarang mulai diangkat.

Pernahkan berpikir ke sana? Nah ini.

Tapi yang paling munkin saya rasa, karena saya belajar dari ribuan email, pernah sampai sehari pernah 2000 email. Saya pelajari, saya kelompokkan. Memang umumnya pembaca itu berdialog dengan diri sendiri. Jadi memang yang saya lihat itu possibilites tadi. Karena buku itu membuat dia berkontemplasi.

Buku ini mengubah orang, tapi gimana dengan buku ini mengubah mas? Mengubah gak sih dari kemegahan ini?

Yang saya dapat adalah penganiayaan baru dari saudara Salman Faridi [Editor Bentang Pustaka] ini. Jadi yang pertama saya dapat adalah satu inside, bahwa ternyata pengaruh buku itu luar biasa. Buku itu memang memiliki kekuatan untuk mengubah orang.

Jadi saya merasa perubahan dari saya adalah menempatkan diri sebagai orang berhati-hati karena saya punya peluang membelokkan pandangan orang. 100.000 eksemplar ini bahwa cukup signifikan.

Di dalam penelitian di indonesia satu buku dibaca lima orang, jadi sudah 1,5 juta orang yang ikut terpengaruh atau paling nggak dia sudah baca buah pikiran saya.

Jadi di sini saya lihat bahwa saya juga mengemban responsibilites dan saya sangat berhati-hati dengan saya tulis karena didalamnya akan tergambar prinsip keyakinan. Jadi itu punya konsekuensi.

Dengan kata lain hidup saya semakin tidak mudah karena buku-buku ini. Luar biasa reaksi orang mbak. Seorang ibu-ibu datang ke kantor, datang bertimerma kasih kareea anaknya begini, suaminya begini.

Paling ekstrim saya empat kali dikirim langerie. Maksudnya apa?

Ada yang bilang, andrea kalau kamu menyetujui bikin film LP aku tidak akan lagi baca bukumu. Ada yang begitu. Kadang-kadang saya berbesar hati karena kita bukan dari bangsa yang suka membaca tapi kita punya kapasitas sebesar itu. Itu yang membahagiakan.

Jadi walaupun saya dikenal kecil kecilan, tidak megahlah seperti film dan musik tapi kita banyak menemukan pembaca edan. Kalau di Jepang seorang penulis itu megah, di sini tidak. Hal seperti itu selalu ada sisi menarik dan pembaca buku Indonesia baik walaupun gila. Tadi ada anak berkerudung saya dicium lho.

Artinya bukan karena saya gagah ganteng tapi karena buku. Tapi saya sih biasa saja, kaya kagak, keren kagak. Itu menggairahkan, apresiasi buku besar. Seperti dunia literary kita terbentuk orang disodori dengan multimedia, /…… orang lebih senang menonton dari membaca. Sekarang orang disodori untuk membaca lagi. Jadi dunia literary berkembang. Wulan bilang baca cuman sebulan sekali tapi nonton dvd bisa setiap hari.

Mas, memperlakukan buku mas misalnya seperti bayi yang semacam apa? Bandel, manis atau gimana?

Jadi saya itu paling nggak pede nulis edensor, karena soulnya adalah realisasi dari mimpi-mimpi dari dua buku sebelumnya. Itu susah sekali menemukan angle dimana menuliskan keberhasilan tanpa harus pamer.

Susah baget. Itu yang pertama, kedua, saya ini ingin membawa LP ini sebagai apa. Kalau di film ada istilahnya journey movie. Itu diawali dari kesuksesnya film sideways kemudian dicontoh riri tiga hari untuk selamanya.

Di buku juga ada genre cerita perjalanan, petualangan, pencetusnya Karl May. Saya itu berusaha untuk membuat edensor dengan cerita pengembaraan itu tidak berhasil. Dibuang banyak ya, berbelas-belas halaman terbuang karena saya nggak bisa. Menulis cerita perjalanan itu sangat tidak mudah.

Dia bisa terjebak menjadi traveling story.tidak memiliki soul sama sekali, selain saya takjub dengan ini makanannya aneh, jadi touristic story. Terjebak pada detail. Terjebak pada satu perubahan mekanik: dari ke dari ke….. itu banyak dikritik oleh proof reader saya.

Baru kali ini saya menulis novel dengan proof reader… lima orang yang membaca dulu. Terus berubah menjadi itu supaya ada soulnya. Mungkin para juri di KLA itu melihat itu. Melihat kesulitan dari membuat cerita ini. Membuat cerita perjalanan sehingga menominasikan di KLA.

Sekali lagi apersiasi itu tidak sesederhana kelihatannya. Karena misalnya sepupu saya Zikri Hayat [fotografer Muda] ini ada 16 kepribadian itu tentu saya akan mendapat cerita yang hebat kan.

Jadi kita harus membedakan apresiasi dengna bahannya itu sulit tapi bisa ditulis. Kalo misalnya mengenai pergolakan kepribadian maka setiap penulis memiliki peluang yang bagus untuk itu.

Tapi kalo bagaimana menulis perjalanan dari Eropa ke Afrika bahan itu kering. Makanya di sang pemimpi dan Laskar Pelangi lebih ekstense, edensor itu lebih intens. Itu tidak mudah. Jadi ketika saya menulis LP saya lebih happy karena tidak berbeban, ketika menulis SP saya sedikit berbeban, karena saya mulai membaca sastra maka mulai susah, edensor susah. Maryamah Karpov itu balik lagi seperti gairahnya menulis LP. Lebih spontan.

Jadi kalau saya sih lebih cenderung pada tulisan yang sembrono meletup-letup dengan sendirinya. Saya gunakan kata-kata yang kalau bisa adalah esensi dari visualisasi.

Entah kata-kata itu ada atau tidak di Bahasa Indonesia. misalnya tercepuk cepuk itu tidak ada dalam Bahasa Indonesia, tapi gerakannya itu tergambar dalam pikiran pembaca, kalau orang berlari di genangan air.

Saya pengen menulis begitu. Itulah tantangan saya, saya ingin melukis dibenak pembaca. Saya ingin melompat dalam kepala pembaca dan berteriak-teriak dan berdialodg dikepala mereka. Saya tidak ingin menulis dimana orang percaya pada saya. Itu gagal, itu khotbah, itu buletin jumat.

Tapi orang melihatnya sosok andrea itu sangat tinggi, dan apa yang dikatakan jadi diikuti? Perempuan berjilbab adalah kemerdekaan atas agama bla bla bla……

Sebenarnya kadang-kadang saya berada di dua sisi. Saya ingin mendivine bahwa saya ingin penulis seperti apa. Ketika orang ketika menulis itu dia berdialog dengan diri sendiri ketika saat prosesnya itu seperti apa.

Kadang-kadang itu juga jadi tendensius. Seperti penilaian saya kepada perempuan berjilbab. Itu subjektivitas saya, itu pendapat saya. Dan itu tidak dapat dihindari dalam menulis, kalau itu berimplikasi pada pembaca saya yang berjilbab itu sesuatu yang sulit saya ramalkan.

Kita reperesntasi dari diri kita. Jadi saya percaya itu you are what you read you are what you write. Saya baca dengan Gde Prama bahwa dia bilang apa yang anda tulis adalah representasi dari diri Anda sendiri tentang kebenaran, persepsi tentang apa hidup ini. Apa anda orang yang brangasan, atau kontemplatif itu terlihat dalam tulisan.

Masalah royalti, kalau diluar penulis bisa hidup dari royalti ini saja. Kalau di Indonesia 10% tinggi, tapi yang membuat penulis secara ekonomi bagus adalah eksses seperti bedah buku? Menurut mu gimana?

Saya sebetulnya berangkat dari royalti rendah awalnya, tapi ketika buku ini acceptance luas mereka sekarang menaikan royalti di atas 10% dan sekarang belasan persen. Memang susah penulis di Indonesia buat hidup. Tapi saya kira dari laskar pelangi kita bisa sampai 500 juta untuk bulan ini saja. 500 juta bisalah untuk hidup.

Analis bilang LP dibeli termahal kalau dibayar dengan royalti. Karena ada dua yakni bayar langsung dan dapat royalti. Itu saya rasa satu tahun pertama bisa Rp1 miliar untuk LP ini.

Tapi saya bukannya gak butuh uang tapi tidak prioritas. Karena dulu sebelum ditawar oleh Miles, LP sudah pernah diambil hampir Rp1 miliar oleh orang yang buat sinetron, saya tidak mau.

Saya rasa penulis bisa hidup, tapi bisa jual 2000 buku dalam satu bulan. Dia bisa hidup. Saya rasa ada batas psikologi buku laku gak laku di Indonesia. Kalau buku mau laku, akan terjual 2000 ekspelamr dalam satu tahun.

Di Indonesia jarang sekali tidak ada lima judul buku yang bisa laku 3000 eksemplar dalam satu tahun. LP sudah di atas 100 ribu, jadi memang susah sekarang. Tapi di luar negeri juga kalau buku tidak laku mereka juga tidak bisa hidup. Tapi batasan-batasan ekonominya seperti itu.

Katanya ada orang yang mau beli sebelum miles tapi kenapa Anda gak mau kenapa?

Kontraknya Rp 950juta. Tidak sesuai dengan idealisme. Gak lah, dunia film itu lebih galak. Jadi kita sudah teken kotnrak dengan Riri 20 agustus, tapi masih banyak tawaran diantara kolega mereka dengan tawaran jauh.

Jadi saya lebih ke idealisme. Riri ke bandung, dan ngobrol. Saya kira Riri punya sixth sense yang tidak dilihat pembaca lainnya. Dia tau betul soulnya. Jadi dia melihat sesuatu dalam film. Kemudian saya juga belajar dia mengadaptasi Gie. Makin ke sini, makin soulnya ketemu dan nyambung.

Dia mengubah naskah tapi tidak mengubah esensinya. Saya optimis dengan skrip dan film itu. Yang penting ruh dan esensinya ada di situ. Itu lebih pada pergolakan setelah PT timah kolaps.

Perkara nanti boom atau tidak?

Kalau pengen boom gampang, bikin film anak-anak seperti sherina kedua.

Orang marketing bilang mas pandai mengemas diri sendiri untuk kepentingan bisnis. Eksesnya kan bisnis semuanya, mas rasain itu?

Saya lebih pada menjaga image, itu juga marketing. Kita harus tahu bahwa kebanyakan penulis ini menurut pengamatan saya adalah orang-orang yang hipokrit. Dia menulis dan dia tidak perduli dengan pembaca. Yang bener aja, kenapa mereka masukkan ke penerbit, karena penerbit pasti beda jastifikasinya dengan dia, penerbit untung dan rugi.

Janganlah berdusta, bahwa setiap penulis sangat ingin tulisannya di baca orang. Image yang saya jaga bukan image komersil. Kalau image komersil kenapa tawaran tinggi saya biarkan. Image saya adalah negeri ini patahkan paradoks bahwa bikin buku yang bermutu banyak dibaca orang.

Kalau mbak teliti liat pemenang KLA gak pernah buku yang laku atau bahkan buku susah didapatl, jangan jangan tidak pernah diterbitkan dan hanya dikirimkan ke panitia KLA. Tahun lalu, 10 buku yang laku itu bukunya mbak DEE filosofi kopi, dan tahun ini hanya edensor.

Jadi image itu bagi saya menjaga image adalah menjaga image buku yang tingkat literary tinggi tapi tingkat acceptance nya luas. Itu tantangan terberat dari penulis. Kalau ada penulis yang bilang saya buku dengan sastra tinggi dan gak ada yang baca gak papa, itu munafik.

Kalau kita ingin menulis, kita ingin buah pikiran kita dibaca orang, dikiritisi bahkan ingin dipuji. Karena anda tidak berhasil membuat buku bagus untuk dibaca orang saja sebenarnya anda penulis yang gagal. Ya kan.

Tapi dengan berdalih dengan idealisme hidup seperti sufi tapi memasukkan diri dalam industri. What? Ya kan….. bacaannya itu tekstual dan nyaris tidak ada substansi, nyaris seperti narsis.

Industri buku kan harus hidup, harus untung. Kalau anda begitu idialis, anda kasih ke orang, fotocopy sendiri dan dibaca teman-teman anda saja. Jangan masuk dalam industri yang profit motif.

Jadi dimana anda berdiri. Anda cuap-cuap penulis bagus, idealis tapi masuk industri. Menurut saya itu anda bisa menulis, tapi tidak mampu membuat seeuatu yang memiliki acceptance luas, dan jangan dikira pembaca Indonesia bodoh.

Buku paling laku adalah Da Vinci Code, itu bukan buku yang mudah. Masalahnya adalah supply yang tidak seimbang. Penulis harus interospeksi, bahwa dari suplier dan demand itu tidak seimbang.

Begitu banyak penulis yang tidak becus nulis buku bagus dan pembaca hanya dihadapkan dengan buku-buku yang itu-itu saja dengan gender yang kapasitas tulisan yang dangkal, yang artifisial.

Justru penulis harus introspeksi apakah sudah menulis untuk bangsa ini. Jangan hanya salahkan penerbit, pembaca yang bodoh, buktinya Dan Brown laku. Jadi jangan main-main.

Apa yang buat tidak terjebak pada detail ketika nulis?

Karena tulisan saya ada dua hal yang penting yaitu tekstual dan kontekstual. Saya sangat menekankan kontekstual. Jadi saya tidak ingin menerbitkan cinta dua halaman dengan kata-kata yang gak jelas, mengatakan cinta saja dengan renjana. Hatiku terbakar asmara yang gelap gulita, alah aku merana gitu aja kenapa sih. Jadi itu tekstual.

Aku tidak mau menulis seperti itu. Jadi aku lebih suka menulis tentang sesuatu yang menyentak orang dengan kenyataan dengan realitas. Aku cenderung melakukan autokritik dengan sukuku sendiri, dimana orang Melayu itu pemalas. Lebih pada konteks. Jadi seimbang antara konteks dan teks.

Jadi itu menjawab kenapa anak-anak jurusan sastra jarang menghasilkan karya, itu karena mereka kuat terhadap teks tapi tidak dengan konteks. Apakah mereka memiliki bekal untuk research sosiologi, atau research tentang biologi atau pengetahuan terbaru IT.

Jadi temanya selalu cinta dan penindasan, karena itu paling kuat dieksplor secara tekstual. Ketika cerita tentang ilmu pengetahuan, mati tulisannya. Karena mereka hanya bicara tentang teks tidak dengan hidup ini. Inside tentang edukasi, lingkungan tidak kuat.

Sebenarnya bercita-cita jadi penulis?

Tidak pernah. LP kan kecelakaan. Tapi belakangan saya serius belajar begitu.

Mungkin panitia KLA itu melihat perubahan teknik itu.

Tapi yang saya exiceted itu adalah penting di mana buku-buku baik, itu demi KLA. Saya bersyukur masuk KLA, karena menentang pasar dan memiliki acceptance. KLA itu jadi sepi karena buku-bukunya juga sepi, tidak ada pembacanya, kalau tidak ada pembacanya siapa yang mau dibicarakan. Itu penting.

Mas, memisahkan atas kehidupan yang PNS banget dengan sekarang penulis ini gimana?

Jadi saya mengidentikkan diri saya sebagai manusia amphibi dalam dua alam. Ketika di kantor saya otak kiri banget jam 8 sampai 5 sore, dan ketika malam otak kanan.

Saya rasa saya perlu memaintain hal itu, karena katanya ikan dalam akuarium itu gak sadar kalau ada air. Jadi ketika saya di kantor saya bisa mengambil jarak dengan sastra ini, dan ketika saya terlarut di dalamnnya saya akan jadi narsis seperti penulis itu.

Penting untuk balance. Jadi gak masalah, karena di sisi lain saya bukan orang sastra tapi ekonomi. Saya tidak tahu sastra. Belakangan ini Telkom sangat toleran.

Satu hal, mas memandang wanita itu seperti apa?

Saya itu ngobrol dengan temen-temen saya itu saya diketawain karena saya bener-bener dekat dengan orang, berkomitmen itu baru dua kali. Saya dengarr kawan-kawan saya 15 kali.

Selama hidup saya ini baru dua kali. Jadi saya pikir saya sangat berhati-hati isn’t not about my feeling tapi the posibilites of touching someone. Saya menjaga tidak menyakiti orang kalau tidak siap saya benar-benar memiliki kesempatan dekat dan tanggung jawab dengan hubungan itu jangan.

Wanita itu tinggi banget derajadnya di mata saya. Makanya saya tulis Maryamah Kaporv. Saya gak geer, saya pikir bukan karena saya tapi karena buku.

Sastra di luar mainstream akan sukses. Si gajah madanya Langit Kresna sukses? Tapi kenapa ga masuk KLA?

Ya orisinalitas dong, karena cerita bukan dia yang bikin. Saya setuju dengan juri. Kalau dia masuk justru aneh, karena dia menulis ulang. Kenapa buku sukses, kenapa orang suka Kho Ping Hoo, Avatar, si buta dari gua hantu, dia tidak orisinal Gajah Mada. Itu menulis ulang.

Masalahnya kalau KLA buat dan orang bisa tertarik lagi? Apa yang perlu dilakukan mungkin nge pop?

Apa yang dilakukan mbak DEE dia melakukan hal yang baru meski saya tidak pernah baca tulisannya. Mesti ada peluang untuk bangun sastra Indonesia lebih berbobot.

Kita banyak penulis bagus, seperti Hermawan Aksan nulis Diah Pitaloka itu lebih bagus. Kita perlu penulis seperti Alan Lightman yang mensastrakan science, bukan menyastrakan maaf selangkangan. Itu tidak perlu meski laku.

Mas, yang membuat tetap membumi?

Karena saya tidak merasa sebagai penulis, tidak mudah mengemban itu. saya tetap saja sebagai pegawai telkom, tukang kabel. Persolannya adalah penulis, padahal karya baru berapa biji sudah kemana-mana.

Jadi menghadapi kemewahan itu sangat datar?

Saya juga kadang suka heran, di tangga-tangga sampai orang antri tandatangan padahal saya ini orang udik. Saya tidak memegah-megah diri karena saya belum berani bilang diri saya penulis karena seperti saya bilang tulisan itu bikin peluang besar bagi penulis untuk memperlihatkan kecerdasannya sekaligus ketololannya. Orang-orang tidak berpikir sampai ke sana.

Betapa tidak mudahnya menulis itu sangat susah. Ada orang tulis dengan teknis yang sangat bagus tapi tulisan itu tidak ada rasanya. Hambar. Dia jago, penulis senior, tapi hambar. Saya percaya bahwa semuanya itu cita rasa seperti fotografi, kejujuran berkarya.

Ada pepatah pinjamkan uang pada orang melayu maka putuslah perkara (lupa gak dikembaliin), tapi pinjamkan kata maka dia akan berpanjang cerita. Manis gak. Jadi ada hubungan kenapa penulis banyak orang melayu. Mulut manis banget gethooo dee.

Dalam penulisan ada proof reader, terus posisi editor bentang gimana?

Saya agak galak dengan anak-anak ini, jadi editor lebih redaksional, jarang yang secara substansial berubah. Proof rader itu penting dicari bukan orang yang mengerti sastra, karena yang saya cari adalah rasa, teknik saya tidak perlu. Penulis dengan teknik bagus tapi buku jelek banyak.

Bagaimana dengan basic mas kan otak kiri, apa ada buku yang scientist dengan komik mungkin?

Keinginan saya bikin tulis komik yang teknologi. Itu bidang saya yang paling membuat obsesi adalah produser yang beli maryamah karpov itu mempercayakan saya sebagai sutradara. Edan gak itu.

Kenapa mau terima itu?

Karena nature saya. Saya suka naturenya mana ada anak bawang yang sekaligus bikin buku tetralogi, bikin buku hanya tiga minggu dan berani cuap-cuap bahwa paradigma lama itu salah. Karena nature saya adalah seorang underground, cepat bosan, saya ingin menguji diri saya sendiri sampai batas saya mampu.

Sebelum ke Tibet?

Itu akan tercapai dalam waktu dekat. Tidak perlu banyak persiapan teori-teori ini itu, ada paspor berangkat. Saya pengin dalam buku-buku saya menginspirasi anak-anak muda bahwa this is the day and make the most of your time. Do something anyting, jangan tidur saja karena time is too short ya.

Rencananya memang pingin tinggal di sana. Tibet!

7 Responses to "Andrea Hirata: on interview"

akhirnya saya bisa tau wawancara aslinya..
bapak algooth gak nanya kenapa andrea mau ke tibet??
trus bagaimana dng semua yg udah dia capai disini??
mau dia tinggalkan begitu saja??

udah sih tapi jawabnya cuma senyum-senyum doang…

biar fans nya pada penasaran kali yahh..??
btw bapak algooth sudah pernah baca kenang2 ngan dimasa kecil pak yusril ihzamahendra di blog pribadi pak yusril yg baru saja dibuat?? cerita masa kecilnya mirip2 kisah andrea hirata dlm bukunya. belitong abies dehh..dan ternyata pak yusril itu ada hub. kerabat dng andrea..itu kata pak yusril sendiri lho lewat komentnya.

kerabat? iya kali ya…tapi kok posisi tai lalatnya ga sama yach?

aku suka orang ini, walaupun aku blum pernah baca bukunya (soon), masih penasaran….
smoga bisa terus bisa berkarya,…

salam.

nantikan wawancara saya dengan andrea hirata di Iowa city, IA,
United States of America 😛

mantaaffff…

Leave a reply to Kojack Cancel reply

Categories

Archives

Pages

November 2007
M T W T F S S
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
2627282930