it’s about all word’s

Johann Casutt: Real Machine Man

Posted on: February 20, 2008

Sempat jualan naik mobil bak terbuka

Seperti halnya biarawan ordo Jesuit yang lain, J. Casutt yang sebentar lagi berusia 80 tahun ini memiliki perjalanan hidup yang berwarna.

Pendidikan dasarnya diselesaikan di Horgen, Zuerich, Swiss, hingga kelas enam, lalu pindah ke sekolah asrama di desa turis Engelberg yang dipimpin Benediktjin.

Selama delapan tahun Casutt belajar di situ hingga lulus dari Gymnasium dan pindah ke Chur pada1945 untuk belajar filsafat dan teologi. Tahun kedua dia ikut retret agung dari Ignatius Loyola.

“Saya merasa terpanggil untuk masuk ordo Jesuit dan berkarya di tanah misi. Tentu saja orang tua tidak begitu senang dengan pilihan saya, toh [mereka] tidak menghambat,” ujarnya.

Masa novisiat (suatu proses menjadi rohaniwan Jesuit) dijalaninya di Rue, Fribourg, selama dua tahun. Sekitar 1949 dia dikirim ke Inggris untuk belajar filsafat selama tiga tahun.

Sesudah itu Casutt harus ke India namun visanya ditolak. Dia kemudian belajar teologi di Eegenhoven, Belgia.

Ke Indonesia

Pada akhir 1955, Casutt ditahbiskan menjadi imam dan dikirim untuk tahap pendidikan terakhir ke Muenster,Westphalia.

Di situ dia menerima surat dari provinsial (pimpinan biara) yang menawarkan Indonesia sebagai tempat kerja. Dua tahun kemudian dia berangkat ke Indonesia. Dalam perjalanan menuju Indonesia dia sempat mengunjungi India selama 14 hari, ke daerah Puna yang saat itu mengalami musim kemarau.

“Semua kering, tidak ada yang hijau dan di mana-mana ada debu. Saya ingat ketika kapal terbang melayang di atas Jakarta, saya merasa lega karena di mana-mana hijau.”

Untuk beberapa hari dia tinggal di Kolese Kanisius dan meneruskan perjalanan ke Yogyakarta untuk belajar bahasa Indonesia, lalu pindah ke Mertoyudan, Magelang, dan tinggal selama delapan tahun.

Pada 1962, Casutt mulai mengurus izin sebagai WNI tetapi terkatung-katung cukup lama. Sekitar 1965 dia pindah lagi ke Asrama Mahasiswa Realino di Yogyakarta. Hingga pada 1971 dia harus meninggalkan mahasiwa dan mengambil alih pimpinan STM dan ATMI St. Mikael dari Romo Chetelat.

“Terus terang saya merasa berat tanggung jawab yang harus dipikul. Karena saya tidak disiapkan untuk itu. Tanggung jawab besar, karena sekolah itu disiapkan dengan cukup banyak uang,” tuturnya.

Selama 29 tahun dia memimpin sekolah itu.

“Dari 75 mahasiwa kami mengembangkannya sampai lebih dari 300 mahasiswa. Dari sekolah yang defisit hingga menjadi sekolah yang mandiri dan untung,” katanya.

Casutt, yang senantiasa meyakini kemampuan murid-muridnya, pernah langsung turun tangan memasarkan hasil karya siswa ATMI dengan menumpang mobil bak terbuka ke daerah Glodok, Jakarta.

Akhir 2000, dia menyerahkan pimpinan ATMI kepada Romo Triatmoko. Tampaknya dia memang tak punya pilihan karena kondisi kesehatannya menurun. Sejak akhir tahun lalu dirinya terkena stroke. “Menurut saya ini suatu tanda bahwa saya harus berhenti dan meninggalkan sekolah ini kepada orang yang lebih muda.”

*Bisnis Indonesia Edisi: 18/09/2005

Leave a comment

Categories

Archives

Pages

February 2008
M T W T F S S
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
2526272829