it’s about all word’s

Setelah para miliader berhenti menendang bola

Posted on: June 27, 2008

Andai saja digelar jajak pendapat di negeri ini. Mana yang paling menarik antara survei popularitas Capres 2009, utopia blue energy, riuhnya dagang kasus di Kejaksaan, demo Ahmadiyah, demo mahasiswa dan Euro 2008? Bisa jadi secara optimistis sepak bola masih menjadi pilihan teratas.

Diakui atau tidak dalam empat pekan terakhir perhatian masyarakat tersedot pada gelaran sepak bola terbesar di Eropa. Dari warung kopi Mang Maman di Slipi, gerai kopi Starbuck di EX Plaza sampai Istana Negara, bola adalah topik utama.

Namun akhir pekan ini, pesta para penggila bola itu akan berujung pada laga Jerman dan Spanyol di Stadion Ernst Happel, Wina, Austria. Keberpihakan menuju pada puncaknya.

Siapapun pemenangnya para penonton bola di Indonesia pantas khawatir. Setelah Euro 2008 melenakan dan menjadi katartasis emosi terhadap keadaan yang tidak memuaskan dalam negeri saat ini, apa lagi medium pelarian tersebut.

Ludwig Feuerbach pernah berkata ‘tuhan’ hanyalah proyeksi buatan manusia. Teori ini kemudian ditelaah Karl Marx hingga timbul tanya ‘kenapa pula manusia mesti menciptakan proyeksi tersebut?

Dalam perenungannya Marx berkesimpulan bahwa manusia melakukan proyeksi tersebut karena ada keterasingan dalam dirinya. Manusia merasakan keterasingan, kekosongan, kebutuhan aktualisasi diri, hingga karena tak sanggup menghadapi realitas.

Dalam perkembangnya, ‘tuhan’ manusia bisa berbentuk beragam. Mulai dari Tuhan dalam arti religius, uang, popularitas hingga pada fanatisme sepak bola yang chauvinistik dalam bentuk hooligan di Inggris atau bonek di Surabaya.

Franklin Foer dan Richard Giulianatti dalam kajian berbeda memotret fenomena globalisasi dunia di lapangan hijau yang semakin mendatarkan dunia sejalan dengan pandangan Thomas L. Friedman.

Berkat kemajuan teknologi penyiaran dan penyajian siaran yang semakin komunikatif. Keras dan ketatnya pertandingan antara 22 pemain dari tim yang bertanding bisa langsung dirasakan dalam detik yang sama.

Akibatnya batas dan identitas nasional seolah-olah lenyap di lapangan hijau. Segala peristiwa pertandingan Piala Eropa yang terjadi di Austria dan Swiss pada saat ini juga menjadi bagian dari pesta penggila bola Indonesia.

Meski kesebelasan Merah Putih tak akan pernah berlaga sebaik dan sehebat tim-tim yang berlaga di tingkat Internasional, toh pesta yang terjadi di jantung Benua Biru itu secara sah adalah pesta kita juga.

Kita ikut bersorak ketika Belanda menggilas Italia dan Prancis. Jantung kita ikut berdebar manakala Fatih Terim dan Guus Hiddink mengepalkan tangan ketika tim kuda hitam yang mereka asuh membalikkan semua ramalan.

Kita pun—mungkin lebih—menyambut keberhasilan Jerman dan Spanyol melangkah ke babak final daripada menyambut Parade Senja yang digelar di Istana Negara atau hancur leburnya Partai Golkar di Pilkada.

Dalam pesta Euro 2008, ucapan Foer, redaktur senior The New Republic tentang sepak bola tampaknya jauh lebih akur dengan proses globalisasi ketimbang perekonomian manapun di muka bumi menemukan pembenaran.

Toh di tengah deru persaingan menuju parta puncak Euro 2008. Kabar gemerincing uang yang beredar di kantung para pemain dan panitia penyelenggaraan marak terdengar.

Studi yang dilakukan salah satu sponsor resmi Euro 2008, MasterCard Inc, turnamen bergengsi yang digelar empat tahun sekali ini memacu peningkatan ekonomi Eropa hingga 1,4 miliar euro atau setara lebih dari Rp18 triliun.

Euro 2008 juga menciptakan lebih dari 7.500 lapangan kerja di Eropa dan memutar penghasilan mencapai 860 juta francs Swiss atau setara US$813,6 juta setara 7,48 triliun.

Keuntungan dari tiap pertandingan mencapai 42 juta euro setara Rp546 miliar. Jika Anda suka berhitung. Kalikan saja angka itu dengan total jumlah pertandingan. Di babak penyisihan grup saja ada 24 pertandingan. Dari perempat final hingga final ada tujuh pertandingan. Total ada 31 pertandingan.

Berapa total keuntungan pihak penyelenggara? Jelas tidak kecil. Bandingkan saja keuntungan Portugal sebagai tuan rumah Euro 2004 yang mendapat margin 800 juta euro atau setara Rp10,4 triliun.

Keuntungan tak hanya dinikmati panitia. Semua tim yang bertanding meski kalah pun mendapatkan aliran fulus yang luar biasa karena Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) melipatgandakan hadiah uang dari 129 juta euro menjadi 184 juta euro.

Baru mencapai badnara saja, semua tim yang akan bertanding sudah mendapat uang tanding 7,5 juta euro atau Rp105 miliar. Jika menang mendapat tambahan 1 juta euro setara Rp14 miliar.

Bagi tim yang lolos ke perempat final mendapat 2 juta euro atau Rp28 miliar, lalu empat tim semifinalis alias Jerman, Turki, Rusia dan Spanyol mendapat 3 juta euro atau Rp42 miliar.

Nah bagi Jerman dan Spanyol sebagai finalis, sebelum bertanding rekening mereka mendapat tambahan masing-masing 4 juta euro atau Rp 56 miliar. Jika menang sang juara menerima 7,5 juta euro atau Rp 105 miliar sementara yang kalah masih bisa mendapat uang jajan 4,5 juta euro alias Rp63 miliar.

Jika ditotal, tim juara memboyong hadiah 23 juta euro setara Rp322 miliar hampir dua kali lipat dari duit yang dikantongi Yunani ketika menjuarai Euro 2004 di Portugal yaitu 17,7 juta euro setara Rp 247,8 miliar.

Melihat uang yang beredar di saku para pemain bola di Euro 2008, pantas kiranya kita menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya pada para miliader tersebut yang telah berlari, menggiring, menyudul, saling sepak dan saling sikut di negeri yang terletak ribuan kilometer itu demi menyenangkan kita selama sebulan ini.

Pekan depan, usai partai puncak Euro 2008 yang digelar Senin dini hari, mau tak mau sembari terkantuk-kantuk kita sudah harus kembali memijak bumi. Dipusingkan oleh harga-harga yang melejit tinggi, biaya anak sekolah, listrik yang semakin sering mati tiba-tiba, sampai riuhnya persiapan pesta politik 2009 yang membingungkan. Selamat tinggal Piala Eropa!

Leave a comment

Categories

Archives

Pages

June 2008
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30