it’s about all word’s

Awas, lukisan palsu gentayangan

Posted on: February 25, 2009

Satu hari sebuah surat elektronik tiba-tiba muncul di laptop kerja Edwin Rahardjo. Setelah memperkenalkan identitas, pengirim surat tanpa basa-basi menawarkan satu lukisan kepada kolektor senior itu.

Pemilik Edwin’s Gallery di bilangan Kemang, Jakarta Selatan tadi hanya bisa geleng-geleng. Sambil menyunggingkan senyum getir dia hapus surat tadi.

Bagi pria yang 1 dekade belakangan aktif menjadi manajer puluhan seniman muda itu tahu lukisan yang ditawarkan tadi palsu. Kejadian tadi bukan satu dua kali dialami.

“Aneh benar, masih banyak orang yang memanfaatkan celah sampai sekarang. Setiap bulan, setidaknya ada saja yang menawarkan satu lukisan palsu ke saya lewat email,” ujarnya geram.

Beredarnya lukisan palsu bukan saja dikeluhkan kolektor dan pemilik galeri. Pada 2 tahun lalu, seniman papan atas Nyoman Gunarsa naik pitam karena karyanya dijiplak. Tanda tangan sang maestro yang palsu ikut dibubuhkan di sejumlah lukisan yang mirip dengan karyanya.

Lukisan palsu mulai marak diperjualbelikan di kalangan pecinta seni Tanah Air sejak era 1980-an. Kala itu, seniman muda menggeliat dengan karya kontemporer yang memiliki nafas berbeda dengan seniman tua.

Karya seniman senior pun lantas langka di pasaran. Hal tersebut menyisakan celah yang dimanfaatkan segelintir orang tidak bertanggung jawab membuat lukisan palsu.

Pecinta seni yang mulai kehilangan jejak karya seniman tua pada akhirnya banyak menjadi konsumen. Edwin yang berkecimpung di industri seni sejak 1984 mengamati benar fenomena tersebut.

“Banyak orang yang saat itu mencari lukisan karya seniman yang sudah almarhum. Makanya banyak yang bikin [lukisan] palsu, galeri juga tidak mudah menjual karya karena pemalsu lukisan menjual door to door.”

Koleksi lukisan Bung Karno pun menjadi incaran dan banyak dipalsukan. Maklum sang proklamator terkenal sebagai kolektor dan dekat dengan beberapa seniman angkatan tua.

Zaman bergulir namun, pemalsu lukisan tidak juga jera. Tidak hanya laris menerima penawaran lukisan palsu, ayah dari Kevin Rahardjo ini juga ketiban pulung.

Beberapa kali pemalsu lukisan menawarinya lukisan yang notabene dia miliki. Pemalsu tersebut mengatakan lukisan tadi didapatkan dari pelukis yang sudah meninggal.

Tidak jarang juga, nama Edwin dicatut pemalsu lukisan. Seseorang yang tidak dikenal menawarkan lukisan Trubus Soedarsono yang dikoleksi Edwin ke pecinta seni lain. Untungnya, pembeli tadi mengenal Edwin dan memberitahukan kejadian tersebut.

“Nekatnya mereka menjual memakai frame lukisan saya. Jadi orang yang membeli percaya saja lukisan palsu itu salah satu koleksi saya beneran.”

Pembuktian sulit

Dasar canggih, membuktikan sebuah lukisan palsu bisa diandaikan sesulit berkaca di pantat panci. Sulit bin rumit. Bahkan seorang pemalsu asal Belanda Han Van Meegeren malah terkenal gara-gara jago memalsu lukisan Johannes Vermeer.

Van Meegeren butuh waktu 6 tahun untuk mengembangkan teknik pemalsuan tersebut. Tak heran bos Nazi, Hermann Goering pun tertipu membeli lukisan Christ With The Adulteress.

Bahkan membeli lukisan dari balai lelang terkenal pun tak menjamin. Penulis seni rupa Agus Dermawan T, yang pernah terlibat dalam proses seleksi yang diadakan balai lelang Christie’s, mengatakan dari 400 lukisan yang masuk untuk diseleksi, sebanyak 25% adalah lukisan palsu.

“Artinya 100 lukisan palsu dan sisanya 300 lukisan dipilih kurang lebih 150 lukisan untuk dilelang dan masuk dalam katalog,” ujarnya dalam sebuah dialog seni rupa yang digelar Asosiasi Pencinta Seni (ASPI) beberapa waktu lalu.

Dalam dialog yang dihadiri sebagian besar kolektor, pencinta seni, sejumlah pimpinan balai lelang, isu lukisan palsu muncul ke permukaan selain soal etika dan tanggung jawab balai lelang

Benny Rahardjo, pimpinan Balai Lelang Masterpiece, menjelaskan proses seleksi karya seni yang dilelang pihaknya dengan cara mencek dan menilai yang dilakukan timnya.

Bila pelukisnya masih hidup bisa dicek kepada pelukisnya. Sementara bila pelukisnya sudah wafat, ditanyakan pada keluarganya seperti istrinya. Bila meragukan, tidak dipilih atau diikutsertakan dalam lelang.

Sementara itu, Daniel Komala, pimpinan Balai Lelang Larasati mengatakan pihaknya mempunya tim seleksi. Daniel mengakui yang paling sulit menyeleksi lukisan old master. Kemungkinan masuknya lukisan palsu, katanya, memang bisa terjadi.

“Kalau pada saat preview ada bukti baru bahwa itu palsu, kami withdraw [tarik],” katanya.

Kolektor dan pemerhati seni, Oei Hong Djien juga menyatakan balai lelang di Indonesia masih baru, bila rancu dapat dimengerti. “Sotheby’s dan Christie’s saja bisa kesandung,” katanya.

Di sini, kata Hong Djien, tidak ada undang-undangnya. Hal ini harus diantisipasi, kalau mau mempunyai balai lelang yang profesional.

“Harga yang dimainkan, goreng menggoreng sangat merugikan dunia seni rupa,” katanya.

Menurut dia, balai lelang harus kreatif karena tidak dapat mencari karya pelukis kondang yang almarhum. “Bila lukisan pelukis kondang itu berada di tangan yang ekonominya kuat, susah keluar. Akibatnya banyak pemalsuan.”

Dia mengakui sulit untuk cek otentik tidaknya satu lukisan karena tidak mempunyai pakar. Dia mencontohkan Hendra Gunawan, berapa lukisannya, temanya, siapa yang koleksi. “Untuk itu perlu riset dan dana,” katanya.

Seorang kolektor, Putra, sebut saja demikian pernah bertanya kepada Keong Rouh Ling dari Southeast Asian Pictures Department Christie’s yang menggelar lelang pada 29 Mei 2005 di Hong Kong.

Putra mempertanyakan karya Raden Sarief Bustaman Saleh yang dalam katalog tertulis A family promenades along a path with two tigers in wait and the Borobudur in the background.

Dia mempertanyakan hal itu karena karya tersebut sama dengan karya yang dibelinya dalam lelang Sotheby’s pada 3 Oktober 1999 di Singapura seharga Sin$2,4 juta.

Saat itu Putra mengungkapkan dan menunjukkan surat yang menyatakan keotentikan lukisannya dari seorang kurator ahli seni dari Belanda Drs.W.F.Rappard yang memberikan pernyataan keotentikan yang juga dikeluarkan Rappard terhadap karya Raden Saleh untuk lelang Christie’s.

Keong Rouh Ling menyatakan pihak Christie’s telah mendapatkan surat dari Rappard bahwa itu karya Raden Saleh. Sebaliknya Putra mempersoalkan surat itu muncul setelah dia mempertanyakan soal itu sebelum lelang.

Perdebatan soal karya Raden Saleh palsu atau asli itu akhirnya menguap. Banyak yang mengusulkan agar hal ini diselesaikan lewat panel internasional untuk menilai kedua lukisan tersebut.

Tentu masih banyak lukisan dari pelukis terkenal seperti Affandi yang berpotensi dipalsukan. Alih-alih memiliki lukisan berharga, malah gigit jari lantaran terlanjur mengeluarkan dana banyak untuk membelinya.

Hanya bisa pasrah

Edwin Rahardjo gerah melihat masih banyak pemalsu lukisan yang gentayangan di Indonesia. Kendati demikian dia tidak dapat berbuat banyak, hanya bisa berserah kepada keadaan.

Pemilik hobi fotografi ini berharap pemerintah turun tangan segera membenahi masalah yang banyak merugikan seniman dan pecinta seni. Satu institusi independen yang memiliki wewenang mengecek keaslian karya harus segera dibentuk, desaknya.

”Kalau kita bicara lukisan palsu atau asli di Indonesia, siapa yang bisa menentukan? Di sini banyak check-er [pemeriksa lukisan] yang tidak kompeten.”

Wajar saja dia berkomentar demikian. Dia sudah 29 tahun menikmati asam garam industri seni di Tanah Air. Dia paham benar pemalsuan lukisan tidak juga menghilang, bisnis ini berkembang di beberapa pinggiran kota besar seperti Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta.

Dia sendiri memulai kiprah profesional di bidang seni saat melakoni hobi fotografi. Selepas menyelesaikan kuliah jurusan seni dan arsitektur di AS pada 1980 pria berkaca mata itu memberanikan diri mendirikan studio foto komersial.

Kecintaan pada seni mendorongnya mengembangkan diri. Setelah 5 tahun berselang, dia menyulap studio fotonya menjadi galeri seni yang dibangun di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Dinamakannya Edwin’s Gallery.

“Saat itu saya bingung kepada siapa saya mau belajar dan mendalami seni di Indonesia. Makanya saya membuat galeri. Saya menyerap ilmu para seniman dan kolektor yang datang.”
Galerinya lantas menjadi salah satu tempat berkumpul pecinta seni Ibu Kota. Beragam eksibisi seni digelar di sana.

Pameran lukisan pertama yang diselenggarakan adalah karya seniman yang lama berdiam di Brasil, Tio Tjay pada 1987. Rekaman perjalanan pameran berlanjut 1 dekade berselang, Edwin dipercaya menggelar pameran maestro lukis Ahmad Sadali bertajuk The Hidden Works and Thoughts.

Mengikuti zaman, bisnis benda seni mengalami pasang surut. Sejak 1991 dia pun melirik potensi seniman muda.

Sedikitnya Edwin mengasuh 30 seniman dalam rentang 1991-2008. Tahun ini dia menggandeng tujuh seniman a.l. Sigit Santoso dan Bambang BP yang mengadopsi gaya kontemporer.

Belakangan, suami dari Listia Rahardjo ini pun lantas lebih dikenal sebagai pemilik galeri seni, kolektor, dan manajer seniman muda ketimbang fotografer. Darah seni didapatkannya dari sang ibu Liliana Rahardjo.

Ayahnya yang pengusaha di sektor transportasi, Bambang Rahardjo merupakan sosok yang amat logis dan tidak terlalu tertarik dunia seni.

Kejelian bisnis dan kecintaan kepada seni yang masing-masing didapatkan dari orang tua membentuk Edwin tumbuh menjadi pebisnis seni andal.

*Noerma Komalasari & Hery Suhendra

2 Responses to "Awas, lukisan palsu gentayangan"

salam kenal
thanx info-nya…bermanfaat, izin link ke-blog sy

ikut prihatin atas pemalsuan lukisan

Leave a comment

Categories

Archives

Pages

February 2009
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
232425262728