it’s about all word’s

Tuna netra tak mesti buta komputer

Posted on: February 23, 2008

Sebagai orang yang termasuk awam, untuk kesekian kalinya saya melongo melihat keajaiban komputer. Bukan karena kecanggihannya atau harganya yang semakin murah tetapi karena penggunanya.

Bukan karena si pengguna komputer cantik atau seksi, tapi karena buta! Ya tak bisa melihat alias tuna netra. Ya, orang yang tak mampu menikmati indahnya pagi dan macetnya Jakarta.

Dalam ruangan kecil milik Yayasan Mitra Netra (YMN) yang berada di wilayah Lebak Bulus itu empat orang asyik menghadapi komputer. Beberapa dengan monitor menyala, beberapa lagi asyik saja dengan monitor yang gelap atau mati.

Kadang mereka tersenyum kadang mereka menghembuskan nafas perlahan. Jari-jari mereka lincah di atas papan tuts komputer yang tak jauh beda dengan komputer yang biasa saya gunakan bekerja membuat berita.

Beberapa di antara mereka asyik terpekur lalu manggut-manggut dengan alat pendengar beberapa asyik menyimak suara-suara mirip robot di film Star Wars yang keluar dari pengeras suara di kanan kiri monitor.

“Saya ini betul-betul buta mas sejak masih umur tiga tahun. Belajar komputer juga sudah buta. Itu juga nyambi dengan kegiatan saya sebagai tukang pijit di Sumur Batu, Kemayoran,” ujar Sugiyo sembari terkekeh.

Sama seperti halnya saya, Sugiyo berasal dari kampung. Dia asli kelahiran desa Arjosari, Kecamatan Adi Mulyo, Kebumen. Ayahnya Joso Redjo sementara ibunya Sinem. Karena buta, Sugiyo baru masuk sekolah dasar di usia 11 tahun.

Dengan kondisinya itu Sugiyo harus melanglang buana ke Sekolah Luar Biasa Temanggung. Untung Departemen Sosial sebagai pengelola sekolah itu menyediakan asrama dan membebaskan biaya sekolah Sugiyo kecil.

Lulus SD, Sugiyo lalu naik kelas ke SLBAN di Pemalang yang memberikan fasilitas asrama dan bebas bayar SPP. Dari sana dia lalu masuk ke SMA Negeri I Pemalang.

“Saya sekolah sama orang-orang awas,” tutur Sugiyo memberikan istilah bagi orang-orang yang memiliki penglihatan normal.

Lulus SMA jurusan ilmu sosial tahun 1989, dia lantas mengadu nasib ke Jakarta dan tinggal bersama pamannya di Kemayoran sambil belajar memijit di Kemayoran. Gelar tukang pijit dilakoninya selama tahun 1990 hingga 1997.

Perkenalan Sugiyo dengan komputer juga terjadi di Kemayoran. Saat itu anak pamannya mengajaknya bermain-main dengan komputer. Sayang keterbatasan fisik menjadi penghalangnya.

Beruntung pada Agustus 1997 dia mendengar tentang Yayasan Mitra Netra.

“Saya tertarik sebab sejak 1994 saya belajar komputer yang dilengkapi aplikasi screen reader JAWS [Job Access With Speech] berbasis DOS.” Saat itu dia belajar program Word Star lalu melanjutkan ke Word Perfect.

YMN sendiri memiliki komputer bicara sejak 1992. Pengusaha Bob Hasan menyumbang satu-satunya komputer di yayasan itu.

Meski kuno dan satu-satunya, komputer itu sudah meluluskan ratusan tuna netra yang ingin belajar komputer.

Bikin buku sendiri

Selama tiga tahun pertama Sugiyo ditempatkan di bagian penggandaan kaset tutorial bagi para tuna netra baru pada 2000 dia dipindahkan ke bagian komputer. Dasar suka belajar. Sugiyo lalu belanja buku dan kaset aplikasi Windows.

“Sayangnya basis perintahnya kan tinggal klik. Kami yang buta kesulitan. Saya jadi tertantang untuk mencari cara agar tuna netra mudah belajar. Dengan cara coba-coba akhirnya jadilah,” tutur pria yang dipercaya memijit Dubes Australia itu.

Empat buku panduan belajar komputer untuk tuna netra tersebut a.l Word, Excel, Access 2000 dan Windows XP. Untuk mencetaknya YMN mengandalkan mesin printer braille pinjaman Depsos.

Tahun 2002 menjadi berkah tersendiri bagi Sugiyo dan rekan-rekannya di YMN karena Microsoft Indonesia menyumbangkan lima unit komputer bicara dengan screen reader JAWS (Job Access With Speech) berbasis Windows.

Selain YMN, Microsoft Indonesia juga membagikan komputer dengan spesifikasi sama ke Yayasan Kartika Destarata.

Sugiyo juga lolos seleksi mengikuti pelatihan program Microsoft dari ON-NET (Overbrook Nipon Networking On Educational and Training) yang diselenggarakan setiap tahun di Bangkok, Thailand.

Pelatihan itu selain mengantarkan Sugiyo jalan-jalan ke luar negeri, juga menautkan kisah cintanya dengan belahan hatinya, Waginah, yang sudah memberinya bayi laki-laki sehat bernama Singgih Pangestu.

“Dia [Waginah] kerja di tetangga saya. Karena ingin menghemat uang saku, saya minta dimasakkan kering tempe. Pulang dari Bangkok, kisah cinta kami berlanjut dan menikah meski saya tel-mi [telat menikah],” tuturnya lalu tertawa keras.

Kini Sugiyo masih terus punya mimpi. Selain membuat blog dan website YMN, dia juga berharap kerja sama YMN dengan Universitas Bina Nusantara (Binus) dan ITB bisa menghasilkan JAWS versi Indonesia.

“Jaws versi asli mahal, selain itu kurang nyaman untuk kuping orang Indonesia. Harapannya ada perhatian dari pemerintah dan dunia swasta untuk membantu program ini,” tutur dia.

Sugiyo dan tuna netra lain memang harus bersabar karena harga aplikasi screen reader JAWS memang sangat mahal. Untuk setiap lima komputer yang tersedia di YMN saja Microsoft Indonesia harus merogoh tak kurang dari US$1.200.

Bisnis Indonesia Edisi: 19/09/2006

3 Responses to "Tuna netra tak mesti buta komputer"

Saya mau tanya, dimana saya bisa mencari komputer untuk tuna netra ini? Saya tingal di Surabaya.Kalo di Surabaya tidak ada,di mana saya bisa mencarinya?
Trims..

aplikasi screen reader open source yang membantu tunanetra untuk mengoperasikan komputer. Aplikasi itu bernama Orca…bisa Anda unduh via http://projects.gnome.org/orca/. Fungsinya sama dengan Jaws yang menjadi asisten tuna netra yang akan membacakan tiap tulisan (text to speech) di layar komputer.

Aplikasi ini membuat tunanetra dapat mengetik, membaca, browsing internet, serta mengerjakan banyak hal lain di komputer dengan mudah. Aplikasi ini tidak membutuhkan piranti khusus, cukup sebuah komputer standar yang bisa diinstal Linux. Aplikasi ini juga sudah bisa berjalan di sebuah Live CD (CD yang berisi sistem operasi) tanpa harus menginstall linux.

Sebagian tunanetra di Indonesia mulai menggunakan aplikasi ini sebagai aplikasi screen reader, sebagai alternatif screen reader yang berbayar. Dengan prinsip free software yang bebas digunakan, dipelajari, digandakan, dikembangkan, membuat aplikasi ini mudah dipakai dan disebarkan. Yayasan AirPutih telah membuat pelatihan penggunaan Orca di tiga tempat di Indonesia: Biak-Papua, Ruteng-Nusa Tenggara Timur dan Ponorogo Jawa Timur.

Untuk memberikan manfaat yang lebih banyak, AirPutih akan mengadakan Workshop Orca pada Tanggal 29 Juni mulai pukul 10.00 WIB di Kantor Yayasan AirPutih, Jl Abdullah Syafe’ie No 55 Jakarta Selatan. Pesertanya adalah perwakilan dari organisasi tunantera, sekolah tunanetra di Jakarta dan Jawa Barat.

Blogger Tunanetra, Rama, juga akan datang. Kami senang jika ada kawan-kawan wartawan juga turut hadir. Informasi lebih lanjut silahkan hubungi Navy (o81 555 848 855). atau Machrus Muafi Yayasan AirPutih Jl. Abdullah Syafe ie No 55 Tebet-Jakarta Selatan 021-8310455

salam

Salam perkenalan… 🙂
Maaf, saya mau bertanya. Bagaimana caranya jika saya ingin menggunakan Orca, sementara komputer yang saya pakai sekarang masih berbasis OS Windows..?
Mohon pencerahannya…

Leave a comment

Categories

Archives

Pages

February 2008
M T W T F S S
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
2526272829